YAYASAN
Kekuasaan Sosial, Tata Kelola, dan Risiko yang Sering Disangkal
Yayasan hidup dari kepercayaan. Bukan hanya kepercayaan hukum, tetapi kepercayaan moral. Ia dipercaya karena tujuannya dianggap luhur, karena bahasanya penuh nilai, dan karena ia sering berdiri di ruang-ruang di mana empati lebih dominan daripada kalkulasi. Namun justru di sanalah kekuasaan sosial bekerja paling efektif, tanpa disadari, tanpa dicurigai, dan sering tanpa pengawasan yang memadai.
Tidak adanya pemilik dalam yayasan sering disalahartikan sebagai ketiadaan kepentingan. Buku ini menegaskan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Ketika tidak ada pemilik, pusat kekuasaan berpindah ke figur. Ke figur pendiri, ke pembina yang dihormati, ke pengurus yang paling lama bekerja, atau ke mereka yang menguasai akses dana dan jaringan. Kekuasaan dalam yayasan jarang berbentuk perintah keras; ia hadir sebagai sugesti moral, sebagai “demi kebaikan bersama”, sebagai narasi pengabdian yang sulit ditolak tanpa merasa bersalah.
Hakikat yayasan bukan hanya tentang tujuan, tetapi tentang legitimasi. Tujuan sosial memberi legitimasi yang sangat kuat, bahkan sering lebih kuat daripada legitimasi hukum. Buku ini mengajak pembaca menyadari bahwa legitimasi moral bisa menjadi pedang bermata dua. Ia dapat menggerakkan kebaikan, tetapi juga dapat membungkam pertanyaan. Ketika setiap kritik dianggap tidak berempati, dan setiap kehati-hatian dianggap menghambat misi, yayasan mulai kehilangan mekanisme koreksinya sendiri.
Struktur organ yayasan dirancang untuk menciptakan keseimbangan. Namun keseimbangan tidak pernah otomatis lahir dari struktur. Ia lahir dari keberanian menjalankan peran. Pembina sering merasa tugasnya selesai setelah menetapkan garis besar, padahal secara hukum, pembina memegang kendali strategis. Pengurus bekerja di garis depan, namun sering tanpa kejelasan batas mandat. Pengawas hadir sebagai simbol kontrol, tetapi jarang diberi ruang atau keberanian untuk bersikap tidak nyaman. Buku ini menunjukkan bahwa banyak kegagalan yayasan bukan karena tidak ada struktur, melainkan karena struktur diperlakukan sebagai formalitas.
Dalam yayasan keluarga, lapisan emosional menjadi lebih tebal. Figur pendiri sering menjadi pusat orbit. Sejarah pengabdian berubah menjadi otoritas moral yang tidak boleh dipertanyakan. Buku ini menegaskan bahwa penghormatan pada pendiri tidak boleh menghapus kewajiban tata kelola. Ketika kehendak pribadi pendiri terus berjalan tanpa koreksi institusional, yayasan berhenti menjadi entitas hukum dan berubah menjadi perpanjangan kepribadian. Di titik ini, konflik keluarga mudah menyamar sebagai konflik organisasi, dan risikonya tidak lagi simbolik, melainkan hukum.
Uang dan aset dalam yayasan membawa paradoks paling tajam. Di satu sisi, dana yayasan adalah amanah. Di sisi lain, ia sering dikelola dengan standar yang longgar atas nama kepercayaan. Buku ini membuka kenyataan bahwa banyak pengurus tidak pernah merasa “memiliki” dana yayasan, sehingga juga tidak merasa perlu mempertanggungjawabkannya dengan disiplin tinggi. Padahal hukum berpikir sebaliknya. Hukum melihat siapa yang mengelola, siapa yang menandatangani, dan siapa yang mengambil keputusan. Ketika dana digunakan tanpa dokumentasi memadai, risiko tidak berhenti pada yayasan, ia melekat pada individu.
Risiko pidana dalam yayasan adalah topik yang paling sering disangkal. Banyak yang percaya bahwa tujuan mulia akan melunakkan penilaian hukum. Buku ini menegaskan bahwa hukum tidak bekerja dengan empati. Ia bekerja dengan norma. Penyalahgunaan aset, konflik kepentingan, pengelolaan dana tanpa transparansi, dan penggunaan yayasan sebagai kendaraan kepentingan pribadi adalah risiko nyata yang tidak bisa dinegosiasikan dengan narasi kebaikan. Banyak pengurus baru menyadari posisi mereka ketika status saksi berubah menjadi status tersangka, bukan karena niat jahat, tetapi karena kelalaian struktural yang dibiarkan terlalu lama.
Peran profesional sering menjadi garis pertahanan terakhir. Notaris, akuntan, auditor, dan konsultan membawa bahasa hukum dan angka ke dalam ruang yang sering dikuasai bahasa nilai. Namun buku ini juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi profesional ketika berhadapan dengan kekuasaan moral. Profesional yang kehilangan independensi, karena rasa sungkan, karena tekanan halus, atau karena ketergantungan, tidak lagi menjadi penjaga, melainkan pembenar. Di titik ini, yayasan kehilangan cermin objektifnya.
Tata kelola yayasan yang dewasa menuntut keberanian untuk bersikap tidak populer. Ia menuntut keberanian untuk mencatat, untuk mengaudit, untuk bertanya, dan untuk menolak ketika perlu. Buku ini menegaskan bahwa nilai tidak pernah bertentangan dengan struktur; yang bertentangan adalah romantisasi nilai tanpa disiplin. Yayasan yang sehat bukan yayasan yang selalu tampak harmonis, melainkan yayasan yang mampu menampung perbedaan tanpa mengorbankan akuntabilitas.
Epilog buku ini mengajak pembaca berhenti menyangkal satu kenyataan penting: bahwa kekuasaan sosial adalah kekuasaan yang paling sulit dikendalikan karena ia sering tidak diakui. Ia dibungkus niat baik, dijaga oleh rasa hormat, dan dilindungi oleh keengganan untuk bertanya. Namun justru karena itulah, kekuasaan sosial menuntut tata kelola yang lebih ketat, bukan lebih longgar.
Daftar tanda peringatan yang menyertai buku ini bukan tuduhan, melainkan ajakan sadar. Ketika satu figur tidak tergantikan, ketika laporan keuangan hanya formalitas, ketika pengawasan dianggap tidak sopan, ketika profesional diminta “menyesuaikan”, di situlah yayasan mulai menjauh dari tujuan mulianya sendiri. Yayasan: Kekuasaan Sosial, Tata Kelola, dan Risiko yang Sering Disangkal adalah refleksi tentang organisasi yang hidup dari kepercayaan publik. Tentang keberanian mengakui bahwa niat baik membutuhkan pagar. Dan tentang pilihan sadar untuk menjaga kekuasaan sosial tetap berada dalam batas, agar ia benar-benar menjadi sarana pengabdian, bukan sumber luka yang sunyi.
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh