Yang Pergi Bukan Suamiku, Tapi Aku
Kepergian itu tidak terjadi pada hari ia memutuskan bicara. Ia terjadi jauh sebelumnya, ketika ia mulai berhenti mengeluh karena lelahnya tidak lagi dianggap penting. Ia adalah perempuan yang selalu bisa, dan di balik kalimat itu tersimpan penghapusan yang rapi. Ketika seseorang selalu bisa, dunia berhenti menawarkan bantuan. Dan ketika dunia berhenti menawarkan, ia belajar meniadakan diri.
Rumah berjalan otomatis. Seperti mesin yang dirawat dengan disiplin: bangun pagi, menyiapkan sarapan, memastikan seragam rapi, mengingat ulang tahun orang lain, menghapus jejak kelelahan sebelum siapa pun sempat melihatnya. Tidak ada kekerasan. Tidak ada teriakan. Hanya kesepakatan sunyi bahwa perannya adalah menjaga semuanya tetap utuh, meski dirinya retak di dalam.
Retak itu tidak bersuara karena ia pandai menutupnya. Ia muncul dalam bentuk lupa, lupa apa yang dulu membuatnya tertawa, lupa kapan terakhir kali ia ditanya kabarnya dengan sungguh-sungguh. Ia belajar mengabaikan intuisi, menyebutnya berlebihan, terlalu sensitif, tidak rasional. Padahal intuisi itu tidak pernah meminta dipercaya sepenuhnya; ia hanya ingin didengarkan sebentar.
Pesan itu terbaca bukan karena ia mencari. Ia terbaca karena semesta kadang lelah menunggu. Di saat itu, ia tidak runtuh. Ia berdiri dengan tenang yang aneh, tenang yang hanya datang ketika sesuatu akhirnya jujur. Yang menyakitkan bukan isi pesan itu, melainkan kesadaran bahwa ia telah lama bersiap untuk kebenaran tersebut.
Ia tetap bangun pagi. Karena tanggung jawab tidak menunggu luka sembuh. Anak-anak mulai menunggu lebih lama, dan ia melihat sesuatu yang menyesakkan: mereka menunggu bukan hanya ayahnya, tetapi versi ibunya yang dulu selalu penuh. Di situlah ia mengerti bahwa bertahan tanpa jujur juga meninggalkan jejak, pada anak-anak, pada rumah, pada dirinya sendiri.
Diam menjadi tempat bertanya. Bukan tentang siapa yang salah, tetapi tentang siapa yang selama ini tidak hadir. Malam sebelum ia bicara adalah malam paling jujur dalam hidupnya. Ia tidak menyusun kalimat untuk menyerang, melainkan untuk berdiri. Kata-kata itu bukan senjata; ia adalah garis batas.
Pagi itu tidak melegakan. Ia hanya jelas. Percakapan berlangsung tanpa drama besar, karena perpisahan batin sudah terjadi lama sebelumnya. Luka tidak sembuh dengan cepat. Ia mengubah bentuk, menjadi kehati-hatian, menjadi kesedihan yang lebih matang, menjadi keberanian kecil untuk berkata tidak.
Hari-hari tanpa janji besar terasa asing. Tidak ada visi lima tahun. Tidak ada resolusi heroik. Hanya keputusan harian untuk tidak kembali menjadi perempuan yang selalu bisa tetapi tidak pernah dipilih, bahkan oleh dirinya sendiri. Rumah belajar bernapas dengan ritme baru. Anak-anak belajar bahwa ibu mereka manusia, bukan sistem pendukung.
Memaafkan tidak berarti membuka pintu lama. Ia berarti berhenti membawa dendam sebagai identitas. Ia tidak melupakan, karena ingatan adalah guru. Tapi ia tidak tinggal di sana. Mereka tidak kembali ke versi awal pernikahan. Mereka bergerak maju sebagai manusia yang telah melihat kebenaran, dan memilih tidak lagi membohongi diri. Yang pergi bukan suamiku. Yang pergi adalah aku yang lama, perempuan yang mengorbankan kejujuran demi ketenangan semu. Yang tinggal adalah aku yang baru, perempuan yang tahu bahwa mencintai diri sendiri bukan pengkhianatan, melainkan syarat agar cinta tidak menjadi penjara
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh