Villa Mata Ratusan
Villa itu terlalu cantik untuk disewa murah. Itulah hal pertama yang terasa salah, meski belum bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bangunannya berdiri tenang di lereng sunyi, dikelilingi pepohonan tua yang seolah menjaga jarak. Tidak ada suara serangga yang riuh, tidak ada angin yang benar-benar bergerak. Keindahannya bukan keindahan yang ramah, melainkan keindahan yang mengawasi.
Naya datang dengan kelelahan yang belum sempat ia beri nama. Ia tidak sedang melarikan diri, katanya. Ia hanya ingin diam. Namun villa seperti itu tidak pernah menerima tamu yang hanya ingin diam. Ia memilih. Dan Naya sudah dipilih bahkan sebelum kunci berpindah tangan.
Malam pertama terasa terlalu tenang. Lukisan-lukisan di dinding tidak tampak mengancam, potret klasik, warna gelap, tatapan yang seolah berhenti tepat sebelum menatap balik. Namun di tengah malam, sesuatu berubah. Bukan suara, bukan gerakan. Melainkan rasa: seolah ada napas lain di ruangan yang sama. Salah satu lukisan, sebuah potret perempuan dengan mata terlalu banyak untuk wajah manusia, tampak lebih dekat dari sebelumnya. Tidak berpindah. Tidak bergerak. Tapi kehadirannya menekan.
Naya mulai bermimpi dengan mata terbuka. Ia melihat lukisan itu berdenyut, seolah kanvas adalah kulit hidup. Setiap kali ia mendekat, sebagian dirinya terasa ditarik masuk, kenangan kecil, potongan emosi, rasa takut yang bahkan bukan miliknya. Lukisan itu tidak memakan tubuhnya. Ia memakan Naya sedikit demi sedikit, dengan cara yang hampir lembut.
Di balik kanvas terdapat dunia lain. Bukan dunia gelap penuh teriakan, melainkan ruang yang teratur dan dingin. Galeri panjang, bernomor satu hingga empat belas. Setiap lukisan adalah seseorang yang pernah datang. Setiap mata di wajah mereka adalah sisa kesadaran, jumlahnya bertambah seiring semakin lama mereka bertahan melawan penghapusan diri.
Yang paling menakutkan bukan kehilangan tubuh, melainkan kehilangan identitas. Nama terasa asing. Ingatan tidak lagi linear. Naya mulai ragu apakah ia benar-benar pernah hidup di luar villa itu. Galeri tidak menyiksa. Ia mengarsipkan. Studio awal berada lebih dalam. Di sanalah lukisan disempurnakan. Tubuh-tubuh yang gagal beradaptasi dikembalikan ke dunia nyata sebagai cangkang, masih bernapas, masih bergerak, tapi kosong. Yang berhasil akan tinggal, menjadi karya. Menjadi pengamat abadi bagi tamu berikutnya.
Subjek kelima belas hampir gagal. Ia bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Ia melawan dengan satu hal yang tidak bisa dikurung oleh galeri: pilihan. Rumah Sakit Bahureksa mencatat kematian Wiradarma sebagai kecelakaan, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa lukisan baru muncul di villa malam itu, sebuah potret laki-laki dengan satu mata yang menutup rapat, seolah menolak melihat.
Pertempuran sebenarnya bukan antara hidup dan mati, melainkan antara diingat dan dihapus. Dua dunia berdiri berdampingan, dan hanya satu yang menawarkan keabadian, dengan harga menjadi sesuatu yang tidak lagi manusia. Pada akhirnya, Naya berdiri di depan kanvas terakhir. Lukisan ke-enam belas belum selesai. Wajahnya kosong. Mata-mata belum tumbuh. Ia sadar bahwa villa tidak memaksanya. Villa hanya menyediakan kemungkinan. Yang membuat lukisan itu hidup adalah persetujuan.
Pilihan itu sunyi. Tidak heroik. Tidak ada musik, tidak ada teriakan. Hanya satu keputusan kecil: apakah ia ingin terus diingat sebagai manusia yang rapuh, atau abadi sebagai tatapan yang mengawasi. Villa tetap berdiri setelahnya. Tetap cantik. Tetap murah. Dan di dindingnya kini tergantung lukisan baru, seorang perempuan dengan mata yang tidak sepenuhnya asing, menatap setiap tamu seolah sedang menunggu mereka mengingat sesuatu yang pernah mereka lupakan.
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh