PERSEKUTUAN PERDATA
Pilar Kesepakatan & Tanggung Jawab Sekutu
Persekutuan Perdata adalah bentuk kerja sama yang paling jujur sekaligus paling kejam. Jujur, karena ia tidak menyembunyikan apa pun di balik badan hukum atau struktur institusional. Kejam, karena ia menuntut para sekutunya berdiri sepenuhnya atas nama diri mereka sendiri, tanpa perisai, tanpa jarak aman. Segala sesuatu berawal dari kesepakatan, namun justru karena berawal dari kata sepakat, banyak risiko dianggap sudah selesai dibicarakan, padahal belum pernah benar-benar dipahami.
Persekutuan Perdata tidak menciptakan entitas baru yang terpisah dari para sekutu. Ia melekat. Ia mengikuti. Ia hidup bersama keputusan-keputusan personal. Buku ini menegaskan bahwa dalam Persekutuan Perdata, tidak ada garis tegas antara “urusan usaha” dan “urusan pribadi”. Ketika satu sekutu bertindak, ia tidak hanya menggerakkan persekutuan, ia juga menarik sekutu lain ke dalam konsekuensi yang mungkin tidak mereka setujui secara sadar.
Kesetaraan sering dijadikan mantra. Semua sekutu dianggap setara karena tidak ada struktur hierarkis formal. Namun kesetaraan ini rapuh. Ia mudah runtuh ketika satu sekutu lebih aktif, lebih dominan, atau lebih berani mengambil keputusan. Buku ini menolak mitos bahwa kesetaraan otomatis menciptakan keadilan. Tanpa pembagian peran yang jujur, kesetaraan justru menutupi ketimpangan yang perlahan membusuk. Yang satu bekerja lebih keras, yang lain menikmati hasil dengan asumsi “kita kan bareng”.
Tanggung jawab individual dalam Persekutuan Perdata tidak bisa dipisahkan dari tindakan kolektif. Inilah paradoks terbesarnya. Setiap sekutu bertanggung jawab secara pribadi, namun terikat oleh tindakan bersama. Buku ini menunjukkan bahwa banyak sekutu baru menyadari posisi mereka ketika sudah terlambat, saat perjanjian ditandatangani tanpa mereka tahu, saat kewajiban muncul dari keputusan yang tidak pernah mereka hadiri, atau saat pihak ketiga menagih tanpa mau tahu siapa yang sebenarnya membuat keputusan.
Batas kewenangan adalah wilayah yang paling sering diabaikan. Dalam praktik, persekutuan sering berjalan dengan asumsi informal: “si A biasanya urus ini”, “si B pegang klien itu”. Namun hukum tidak bekerja dengan kebiasaan. Ia bekerja dengan akibat. Buku ini menegaskan bahwa tanpa pembatasan kewenangan yang eksplisit, setiap sekutu berpotensi mengikat yang lain, dan setiap kesalahan menjadi tanggung jawab bersama. Niat baik tidak pernah menjadi pembelaan yang cukup di hadapan sengketa.
Risiko dalam Persekutuan Perdata jarang datang sebagai ledakan besar. Ia datang sebagai kelelahan kecil yang diabaikan, sebagai ketidakpuasan yang dipendam, sebagai keputusan yang tidak dikomunikasikan. Buku ini mengajak pembaca melihat sengketa bukan sebagai anomali, tetapi sebagai konsekuensi logis dari struktur yang terlalu mengandalkan relasi tanpa pagar. Ketika konflik muncul, ia jarang murni soal uang. Ia hampir selalu tentang rasa tidak adil yang tidak pernah diberi bahasa.
Perubahan, masuknya sekutu baru, keluarnya sekutu lama, atau pergeseran peran, adalah titik paling rawan. Buku ini menunjukkan bahwa banyak Persekutuan Perdata runtuh bukan karena konflik eksternal, melainkan karena gagal mengelola perubahan internal. Tanpa mekanisme yang jelas, perubahan terasa sebagai pengkhianatan. Dan ketika pembubaran datang, ia sering datang dalam suasana emosional, bukan rasional, membawa risiko hukum yang terus hidup bahkan setelah persekutuan secara faktual berhenti.
Pembubaran dalam Persekutuan Perdata bukan akhir yang bersih. Buku ini menegaskan bahwa sisa kewajiban dapat tetap melekat, terutama jika persekutuan pernah berhubungan dengan pihak ketiga. Banyak sekutu mengira bahwa berhenti bekerja sama berarti berhenti bertanggung jawab. Hukum berpikir sebaliknya. Ia mengingat apa yang pernah disepakati, bukan apa yang ingin dilupakan.
Pada titik ini, buku ini berhenti berbicara tentang struktur, dan mulai berbicara tentang kesadaran. Dalam Persekutuan Perdata, tidak ada pengawas eksternal yang menjaga disiplin. Tidak ada komisaris. Tidak ada sistem pelaporan. Yang tersisa hanyalah kedewasaan pribadi. Kesadaran untuk berbicara sebelum tersinggung. Kesadaran untuk menulis sebelum mengandalkan ingatan. Kesadaran untuk mengakhiri sebelum hubungan rusak sepenuhnya.
Epilog buku ini tidak menawarkan solusi instan, tetapi sebuah peringatan halus: bahwa Persekutuan Perdata hanya layak bagi mereka yang siap menghadapi konsekuensi dari kedekatan. Ia bukan tempat bersembunyi, melainkan ruang yang menuntut kejelasan sejak awal. Daftar tanda peringatan yang menyertainya bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menjaga. Ketika perjanjian terlalu singkat, ketika kewenangan dibiarkan kabur, ketika konflik dianggap tabu, di situlah Persekutuan Perdata mulai berbalik arah. Persekutuan Perdata: Pilar Kesepakatan & Tanggung Jawab Sekutu adalah refleksi tentang kerja sama yang tidak disangga oleh institusi besar. Tentang keberanian menyepakati bukan hanya tujuan, tetapi juga batas. Dan tentang pilihan sadar untuk memahami bahwa dalam Persekutuan Perdata, hukum tidak pernah jauh, ia selalu duduk di antara para sekutu, mendengarkan setiap keputusan yang diambil dengan atau tanpa suara.
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh