PERKUMPULAN
Entitas Kehendak Bersama, Tata Kelola, dan Risiko yang Sering Diabaikan
Perkumpulan tidak lahir dari modal, melainkan dari kehendak. Ia dibentuk bukan karena kalkulasi untung-rugi, tetapi karena keinginan untuk berkumpul, menyuarakan nilai, dan menjalankan tujuan bersama. Justru karena itulah, perkumpulan sering dipercaya terlalu cepat. Niat baik diasumsikan cukup untuk menggantikan struktur. Solidaritas dianggap mampu menghalau konflik. Dan hukum dipandang sebagai sesuatu yang “nanti saja, kalau sudah besar”.
Buku ini berdiri untuk membongkar asumsi tersebut.
Perkumpulan adalah entitas hukum yang paling mudah disalahpahami, sekaligus paling mudah disalahgunakan, bukan karena ia jahat, tetapi karena ia terlalu sering dibiarkan tanpa pagar. Ketika kehendak bersama tidak ditopang tata kelola yang sadar, ia berubah menjadi kehendak segelintir orang yang paling aktif, paling lama hadir, atau paling dekat dengan pusat pengaruh.
Hakikat non-profit tidak pernah berarti tanpa kepentingan. Ketiadaan tujuan laba tidak menghapus ambisi, pengaruh, atau kebutuhan akan pengakuan. Buku ini menolak romantisasi organisasi sosial sebagai ruang suci. Dalam perkumpulan, kekuasaan bekerja lebih sunyi dibanding korporasi, tanpa saham, tanpa bonus, tanpa laporan publik, namun justru karena itu, lebih sulit dideteksi.
Struktur perkumpulan sering dibangun dengan niat efisiensi dan kesederhanaan. Namun kesederhanaan struktur bukan berarti ringan tanggung jawab. Pengurus memegang mandat hukum yang nyata, meskipun sering tidak disadari. Mereka menandatangani perjanjian, mengelola dana, dan mewakili entitas di hadapan hukum. Ketika mandat ini dijalankan dengan asumsi “kita kan sesama”, batas profesional runtuh, dan risiko personal mulai mengendap.
Keanggotaan dalam perkumpulan adalah sumber legitimasi sekaligus sumber bahaya. Secara teoritis, anggota adalah pemilik kehendak. Namun dalam praktik, banyak anggota hanya hadir sebagai nama. Rapat dihadiri oleh segelintir orang yang sama. Keputusan disahkan tanpa pemahaman kolektif. Buku ini menegaskan bahwa apatisme anggota bukan sekadar masalah partisipasi, melainkan masalah tata kelola. Kekuasaan yang tidak diawasi akan selalu mencari jalan untuk menguatkan dirinya sendiri.
Rapat anggota sering dipuja sebagai puncak demokrasi perkumpulan. Namun buku ini memandang rapat sebagai ruang politik yang rapuh. Di sanalah bahasa nilai dipakai untuk menutupi konflik, dan konsensus dipaksakan demi menjaga harmoni semu. Ketika rapat hanya menjadi ritual administratif, kehendak bersama berhenti hidup. Ia tidak mati secara formal, tetapi membeku, dan dalam kebekuan itulah konflik tumbuh diam-diam.
Pengurus dan pengawas sering hidup dalam ilusi pengendalian. Pengurus merasa paling berjasa karena bekerja paling keras. Pengawas merasa cukup hadir secara struktural tanpa menjalankan fungsi korektif. Kedekatan personal membuat pertanyaan kritis terasa tidak etis. Buku ini menegaskan bahwa dalam perkumpulan, rasa sungkan adalah musuh tata kelola. Pengawasan yang lumpuh bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak berani.
Keuangan adalah titik api yang paling sering membakar perkumpulan. Dana hibah, donasi, dan iuran sering diperlakukan dengan longgar atas nama kepercayaan. Buku ini menolak pendekatan tersebut. Dana non-profit justru menuntut kehati-hatian lebih tinggi, karena ia membawa amanah publik. Banyak perkumpulan runtuh bukan karena kekurangan uang, tetapi karena uang dikelola tanpa transparansi, tanpa pemisahan kepentingan, dan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Zona paling berbahaya muncul ketika perkumpulan mulai menjalankan kegiatan usaha. Batas antara misi dan bisnis menjadi kabur. Buku ini tidak menolak kegiatan usaha, tetapi menegaskan bahwa setiap langkah ke arah komersial membawa risiko hukum, pajak, dan pertanggungjawaban pribadi pengurus. Banyak yang berlindung di balik label non-profit, padahal secara praktik telah memasuki wilayah yang menuntut disiplin korporasi.
Konflik internal adalah kenyataan yang paling sering disangkal. Dualisme kepengurusan, sengketa legitimasi, dan perebutan simbol organisasi sering bermula dari ketidakjelasan aturan internal. Buku ini menunjukkan bahwa konflik perkumpulan jarang murni soal jabatan. Ia hampir selalu soal pengakuan, sejarah kontribusi, dan rasa memiliki yang tidak pernah disepakati secara eksplisit. Ketika konflik dibiarkan, hukum datang sebagai alat terakhir, sering kali terlalu keras untuk luka yang seharusnya bisa disembuhkan lebih awal.
Pembubaran perkumpulan adalah ujian terakhir integritas. Ketika kehendak bersama telah melemah, dan struktur tidak lagi dijaga, aset menjadi godaan. Buku ini menegaskan bahwa di fase inilah penyimpangan paling sering terjadi. Aset yang seharusnya kembali ke tujuan sosial justru diperebutkan secara sunyi. Pembubaran bukan hanya akhir organisasi, tetapi cermin paling jujur dari nilai yang benar-benar dijalankan selama ini.
Epilog buku ini kembali pada satu kesadaran mendasar: bahwa kehendak bersama bukan sesuatu yang statis. Ia harus terus diperbarui, dijaga, dan dilindungi dari pembajakan, baik oleh individu, kelompok kecil, maupun oleh kelelahan kolektif. Tata kelola bukan pengkhianatan terhadap idealisme, melainkan satu-satunya cara agar idealisme tidak berubah menjadi alat kekuasaan.
Perkumpulan adalah refleksi tentang organisasi yang dibangun atas niat, namun hanya bertahan jika ditopang oleh kesadaran hukum dan kedewasaan relasi. Tentang keberanian mengakui bahwa niat baik saja tidak cukup. Dan tentang pilihan untuk menjaga kehendak bersama dengan batas yang jelas, agar ia tetap milik semua, bukan milik yang paling lama atau paling berani berbicara.
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh