DI SINI
Hari itu tidak terasa penting ketika ia memutuskan tinggal. Tidak ada kalender yang ditandai, tidak ada pesan yang dikirim sebagai bukti. Keputusan itu lahir seperti kebiasaan baru, nyaris tak disadari, ketika kaki berhenti mencari alasan untuk pergi. Ia tinggal bukan karena yakin, melainkan karena untuk pertama kalinya, tidak ada dorongan untuk bergerak.
Ritme terbentuk tanpa kesepakatan. Pagi datang dengan langkah sendiri, sore mengendap di sudut-sudut yang tak pernah dipotret, malam menutup hari tanpa pertanyaan. Tidak ada janji tentang seberapa sering saling hadir. Kehadiran itu sendiri sudah cukup. Ritme seperti ini rapuh, tetapi justru karena rapuh ia dirawat dengan hati-hati, tanpa deklarasi, tanpa target.
Percakapan sering kali tidak dimulai. Diam diberi tempat, bukan sebagai jarak, melainkan sebagai ruang aman. Ada kalanya kata-kata terlalu berat untuk dibawa ke meja; maka mereka dibiarkan tetap di saku, hangat oleh tubuh. Dalam diam itu, seseorang belajar mendengar bukan untuk menjawab, melainkan untuk memahami apa yang belum siap diucapkan.
Nama tidak dipercepat. Ia diucapkan sebagaimana adanya, tidak dipanggil untuk mengikat, tidak ditahan untuk menjauh. Nama itu menjadi jangkar yang ringan. Cukup untuk memastikan bahwa seseorang hadir, tidak cukup untuk menuntut arah. Dari situ, hal-hal yang tidak diniatkan mulai terjadi: pesan yang terkirim karena rindu yang tidak dinamai, pertemuan yang memanjang karena tidak ada alasan untuk segera selesai.
Ada sesuatu yang terbuka tanpa sengaja. Bukan rahasia besar, melainkan kebiasaan kecil yang runtuh: cara menahan tawa, cara menghindari topik tertentu, cara pulang lebih pelan. Pintu itu tidak didobrak; ia terbuka karena engselnya lelah menahan. Di baliknya, tidak ada janji, hanya pengakuan yang membuat napas lebih lega. Hal-hal kecil dilakukan bersama. Membagi waktu yang tersisa, membagi sunyi yang tidak perlu diisi, membagi rutinitas yang tidak pantas dibanggakan. Kebersamaan tidak diumumkan; ia terjadi. Dan karena tidak diumumkan, ia tidak menuntut penjelasan. Setiap hari cukup dengan satu tindakan kecil yang konsisten.
Namun ada yang tidak selesai. Cerita-cerita dibiarkan berhenti di tengah, bukan karena takut, melainkan karena menghormati waktu. Menyimpan sebagian kisah adalah cara menjaga diri tetap utuh. Orang-orang datang tanpa berniat tinggal; sebagian pergi tanpa berniat menjauh. Jarak tidak selalu berarti kehilangan, kadang ia hanya jeda agar makna tidak aus.
Hari-hari tetap datang, seperti biasa. Mereka tidak peduli pada keputusan yang tidak dibuat. Kembali pun terjadi tanpa perayaan, tanpa rasa menang, tanpa rasa kalah. Hanya kelanjutan. Memilih tanpa janji menjadi mungkin ketika seseorang berhenti memaksa masa depan agar berbicara lebih cepat daripada yang mampu ia pahami hari ini.
Ada hari yang tidak meminta apa pun. Tidak jawaban, tidak definisi, tidak rencana. Hari itu cukup dengan keberadaan. Di sanalah makna tinggal menemukan bentuknya, bukan sebagai penetapan, melainkan sebagai kesediaan hadir sepenuh yang mampu, tanpa memaksa waktu menjadi saksi.
Epilog tidak menutup, karena tidak ada yang perlu ditutup. Di sini bukan alamat, melainkan keadaan. Ia adalah pilihan untuk tidak pergi, meski juga tidak berjanji akan selamanya. Dalam ketidakpastian yang jujur itu, hidup berjalan, tenang, apa adanya, dan cukup.
Jika tulisan ini menemanimu lebih lama dari yang kamu duga, mungkin kisah ini belum selesai di sini.
Baca keseluruhan buku secara utuh